Rabu, 06 Juli 2011

investasi emas di lahan perkebunan jabon

Hai saudaraku,untuk ingin lebih tahu secara dalam, mengenai investasi emas di lahan perkebunan baiknya luangkan sedikit waktu untuk membaca artkel berikut ini 
 
Penggagasan bisnis melalui pemberdayaan masyarakat yang peduli lingkungan dengan program penanaman Jabon Merah sebagai bahan baku industri kayu dilatarbelakangi oleh 4 (empat) hal, yaitu keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan, pengentasan kemiskinan, krisis kayu sebagai bahan baku industri, dan menyongsong persaingan di era globalisasi.

a. Kerusakan Lingkungan

Kerusakan hutan dan lahan dewasa ini semakin memprihatinkan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Beberapa sumber mengatakan bahwa luas kawasan hutan yang semula sekitar 200 juta ha ternyata kini hanya tinggal 90 jutaan saja dengan laju penyusutan hutan yang sangat tinggi, lebih dari 1 juta ha per tahun (Otto Sumarwoto, 2003). Sejak tahun 1996, laju kerusakan hutan meningkat hingga mencapai rata-rata 2 juta ha setiap tahunnya, itu berarti kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai sekira 4 (empat) kali luas lapangan bola setiap menitnya (FWI/GPC, 2001; “Potret Keadaan Hutan Indonesia”; Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.; Global Forest Watch).

Menurut Depatemen Kehutanan (2002) kerusakan hutan atau deforestasi telah mencapai sekira 2,3 juta ha per tahun; sedangkan Menteri Kehutanan, MS. Kaban mengatakan, laju degradasi hutan mencapai 2,87 juta ha dengan total hutan yang rusak seluas 59 juta ha; untuk itu Dephut menargetkan rehabilitasi 600.000 ha hutan dn lahan yang rusak di 149 Daerah Aliran Sungai (DAS) seluruh Indonesia dengan kucuran dana mencapai Rp 988.257.361.000 ; atau hampir Rp 1 trilyun (“Kompas”, 28 April 2006). Sementara berdasarkan temuan Green Peace International baru-baru ini di hutan Papua dinyatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus mengubah kebijakan kehutanan khususnya hutan di Papua, dimana telah nyata terjadi kerusakan hutan di bumi Papua yang kini hanya tinggal tersisa sekira 43% lagi. Hal senada juga disampaikan oleh Green Peace Indonesia yang menyarakan kepada pemerintah untuk segera melakukan moratorium tebangan terhadap hutan alam (Kompas, 24 April 2006).

Sungguh suatu kerusakan hutan yang sangat luar biasa bahkan yang sangat merisaukan dan mengkhawatirkan, hutan di Indonesi akan habis dalam kurun waktu 20 tahun mendatang apabila tidak ditangani secara serius sebagaimana pernyataan Nabiel Makarim mantan Menteri Lingkungan Hidup (Taufik Alimi, LEI, 2005).

Keprihatinan pada kondisi lingkungan tersebut menjadi fokus renungan penggagas program pemberdayaan masyarakat ini. Diharapkan program yang direncanakan terlaksana secara berkelanjutan di tahun-tahun mendatang untuk masa depan yang lebih baik.

b. Krisis kayu sebagai bahan baku industri

Kementrian Kehutanan menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1985 sampai dengan tahun 2005, total kerusakan mencapai 59,6 juta hektar. Kurun waktu tersebut terbagi dalam 3 periode, yaitu periode 1985 – 1997 dimana laju kerusakan hutan mencapai 1,87 juta hektar per tahun, periode 1997 – 2000 dimana laju kerusakan hutan mencapai 2,83 juta hektar per tahun, dan periode 2000 – 2005 dimana kerusakan hutan mencapai 1,188 juta hektar per tahun. Pada tahun 2006, Kementrian Kehutanan telah menghijaukan 2 juta hektar hutan tanaman industri, disusul pada tahun 2007 seluas 4 juta hektas (Sinar Harapan, 4 Mei 2007). Terkait usaha pemulihan kerusakan hutan Indonesia, Profesor Soekotjo dari Universitas Gadjah Mada menyatakan perlu 40 tahun untuk memulihkannya.

Adanya krisis terhadap bahan baku kayu pada industri-industri berbahan dasar kayu menyebabkan dampak yang cukup besar. Kekurangan bahan baku ini menyebabkan terjadinya pengurangan produksi industri tersebut yang juga berdampak terhadap tingginya harga produk berbahan dasar kayu. 

c. Pemberdayaan masyarakat

Ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sangat menentukan keberhasilan program penanaman tanaman Jabon Merah ini. Dalam penanaman Jabon Merah ini penerapan teknologi yang tepat guna di wilayah pedesaan senantiasa harus mempertimbangkan sistem padat karya. Dengan demikian untuk wilayah pedesaan yang padat penduduk seringkali diperlukan teknologi tepat guna yang banyak menyerap tenaga kerja. Pada konsep penanaman Jabon Merah ini melibatkan sejumlah masyarakat yang cukup banyak. Dari mulai tahap penyiapan lahan penanaman, pemupukan, perawatan dan pemanenan.

Selain sumberdaya manusia yang dilibatkan, sektor lain yang terkait dengan kegiatan ini adalah sektor transportasi, misalnya truk pengangkut bibit, pupuk, dan kayu hasil pemanenan. Hal ini terlihat jelas bahwa program penanaman Jabon Merah ini membuka kesempatan kerja masyarakat dan memberikan pendapatan alternatif dari kegiatan ini. Hal ini secara bertahap diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa yang semula hanya mengandalkan hasil palawija, kini dapat mendapatkan hasil tambahan dari aktifitas penanaman Jabon Merah.

d. Menyongsong persaingan di era globalisasi

Kegiatan pembangunan merupakan upaya manusia untuk mendayagunakan sumberdaya hutan dan lingkungan hidup demi meningkatkan taraf hidup. Demikian cepatnya perkembangan peradaban umat manusia, terutama karena didukung oleh kemampuan untuk mengembangkan dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sampailah pada suatu taraf budaya, dimana menganggap bahwa dirinya mampu memanipulasi alam dan lingkungan hidup yang sangat merugikan umat manusia itu sendiri, seperti terjadinya banjir, erosi, kekeringan, pencemaran, kerusakan alam, pemborosan sumberdaya alam dan sebagainya.

Berbagai perusakan dan masalah lingkungan tersebut, karena keputusan untuk melakukan pembangunan hanya didasarkan pada kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup dan kemajuan ekonomi semata. Keputusan itu mengabaikan fungsi lingkungan hidup sebagai ruang tempat kehidupan dan penghidupan manusia. Lingkungan sebagai sumberdaya, baik hayati maupun non hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, setiap pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup harus didasarkan pada daya guna dan hasil guna yang optimal dalam batas-batas kelestariannya yang mungkin dapat dicapai. Daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan tidak mengurangi kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam lainnya yang berkaitan dengan ekosistem.

Pergeseran tahta pemerintahan dari govermentcentris menjadi public-private community participation. Sistem pelayanan dari birokratis normatif menjadi profesional responsif-fleksibel netral serta perumusan dan penentuan kebijakan, program dan kegiatan dari top down menjadi bottom up dan partisipatif. Paradigma dan tata nilai baru, perlu menjadi acuan dalam penetapan kebijakan, strategi, program dan kegiatan.

Pembangunan kehutanan di tahun mendatang merupakan era rehabilitasi dan konservasi yang di fokuskan untuk mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang berimplikasi pada penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Selain tantangan tersebut, serbuan produk dari luar negeri juga menjadi perhatian mengingat pemberlakuan era pasar bebas yang disebut sebagai era globalisasi. Namun demikian era globalisasi menuntut adanya pengelolaan bahan baku kayu yang ramah lingkungan sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Pengakuan dunia kepada negara kita bisanya dengan diterapkannya standar sertifikasi dan ISO bagi produk dan manajemennya. Sehingga sangat dimungkinkan dengan konsep kegiatan yang baik dapat mengarah pada standar produk yang jelas, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kekayaan alam yang dikelola secara baik dan benar akan menghasilkan produk unggulan yang berkualitas serta mampu bersaing di tengah pasar bebas yang telah diberlakukan. Produk kayu khsusnya kayu Jabon Merah akan memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi produk unggulan di masa yang akan datang.

e. Adaptasi terhadap perubahan iklim dan isu pemanasan global

Karbon dioksida (CO2) merupakan gas utama penyebab pemanasan global, yang akan berakibat pada perubahan iklim yang menyebabkan banjir dan kekeringan, perubahan ekosistem hutan dan daratan, dan kemudian berpengaruh pada kesehatan manusia. Tahun 1994, 83% peningkatan radiasi gas rumah kaca disebabkan oleh CO2, 15 % CH4 dan sisanya N2O dan CO (Ministry of Environment, 2001). Jumlah emisi CO2 terbesar di Indonesia disebabkan oleh deforestasi dan konversi lahan (74%), diikuti konsumsi energi (23%) dan proses industri (3%). Untuk mengatasi masalah ini,upaya yang dilakukan diantaranya adalah mengurangi konsumsi energi dan mencari energi alternatif yang lebih bersih, pembangunan ruang terbuka hijau, pembangunan permukiman yang berkelanjutan, dan sistem transportasi umum yang ramah lingkungan.

Tanaman mempunyai potensi dan fungsi ekologis menurunkan kadar CO2 pada saat melakukan aktivitas fotosintesis dengan mengubah CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Gas gas diudara akan didifusikan kedalam daun melalui stomata (mulut daun) pada proses fotosintesa atau terdeposisi oleh air hujan kemudian didifusikan oleh akar tanaman. Setiap tumbuhan mempunyai karakteristik yang berbeda dalam mengabsorpsi gas - gas tertentu di udara, sehingga dapat merupakan penyangga yang baik terhadap pencemaran udara.

Pola Pemberdayaan Masyarakat

Program penanaman jabon melalui pemberdayaan masyarakat berorientasi pada bisnis, yaitu berorientasi pada keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat. Dengan begitu tujuan pola pemberdayaan masyarakat berupa peningkatan penghasilan petani dan masyarakat di sekitar hutan dapat diwujudkan. Penggerak proram penanaman jabon merasa perlu dan mendesak untuk mengaplikasikan pemberdayaan masyarakat sebagai bentuk gerakan swadaya masyarakat yang memiliki kekuatan internal secara ekonomi dan kelembagaan sebagai bekal kemandirian dalam mengembangkan usaha perekonomian. Pola aliran dana dari masyarakat (investor) menuju kawasan pengembangan tanaman jabon (desa) diharapkan dapat mendorong kegiatan perekonomian desa dan sekaligus menjadi peluang usaha kepada masyarakat desa untuk lebih mengoptimalkan potensi wilayahnya dengan penanaman jabon. Dengan terbukanya lapangan kerja baru di desa, dampak yang diharapkan adalah berkurangnya urbanisasi menuju kota serta peningkatan taraf hidup masyarakat yang diharapkan sebagai modal pembangunan di kawasan desa.

Taraf hidup masyarakat di sekitar hutan yang pada umumnya rendah dan pendidikan yang kurang memadai sangat erat hubungannya dengan perusakan hutan. Dalam analisa penggerak program ini, kedua hal tersebut membentuk pola pikir masyarakat yang kurang mempedulikan pentingnya pelestarian hutan. Masyarakat petani di sekitar hutan yang umumnya menanam jenis tanaman yang kurang produktif dan kurang bernilai ekonomis memberikan dampak pada pendapatan yang rendah. Pada program penanaman jabon dengan pola pemberdayaan masyarakat, pendapatan masyarakat diharapkan dapat meningkat. Disamping itu, masyarakat diberikan kesempatan sebagai berikut :

a. Petani pemilik lahan diajak bermitra oleh investor;

b. Biaya penanaman dan perawatan (termasuk pemupukan) ditanggung oleh investor dengan besar biaya yang telah ditentukan;

c. Pihak pengelola bertanggung-jawab mencarikan pasar dan menjembatani pembelian kayu jabon hasil panen sebagai bahan baku industri dengan harga yang transparan;

d. Pengelola dan petani mempunyai hak mengawasi tanaman jabon;

e. Petani mitra berkewajiban mengoptimalkan perawatan tanaman jabon;

f. Investor mengetahui lahan yang dikelola dengan petani mitra;

g. Petani diberikan hak menanam tanaman tumpang sari dengan petunjuk pengelola lahan.
Mengapa Jabon?

2.1. Mengapa Memilih Jabon

Tanaman Jabon menjadi salah satu jenis tanaman prioritas yang layak untuk dikembangkan ketika mengetahui bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis bahan baku industri kayu akibat illegal logging. Beberapa alasan yang mendasari pemilihan jabon adalah produktivitasnya yang tinggi, pertumbuhan yang cepat, tingkat adaptasi yang baik terhadap berbagai faktor lingkungan, nilai ekonomis yang tinggi serta daya serap pasar yang tinggi.

Krisis bahan baku industri kayu menuntut penyediaan kayu dengan sesegera mungkin dengan tetap berorientasi pada bisnis. Cara yang ditempuh adalah dengan menanam tanaman-tanaman dengan tingkat pertumbuhan cepat melalui gerakan-gerakan swadaya oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Jati dan beberapa tanaman lain dalam hal ini digunakan sebagai pembanding. Diketahui jati mempunyai daya adaptasi yang tinggi, kualitas kayunya bagus, nilai ekonomis juga tinggi, tetapi di sisi lain jati memerlukan masa tanam yang lama. Disamping itu pasar kayu jati dirasakan kurang baik mengingat jati hanya digunakan sebagai bahan baku meubel, sehingga penanaman jati secara massal dengan berorientasi pada bisnis merupakan pilihan yang kurang cepat dan tepat karena faktor waktu dan pasar. Demikian pula mahoni, mindi, akasia dan sono, waktu dan pangsa pasar menjadi faktor negatif dalam pemilihan tanaman menjadi andalan bahan baku industri. Sengon laut merupakan tanaman dengan pertumbuhan yang cepat, daya serap pasar tinggi, nilai ekonomis tinggi, akan tetapi survival rate rendah dan tingkat adaptasi terhadap lahan kurang baik, penanaman awal harus rapat agar dihasilkan kayu berkualitas baik, serta jenis hama yang banyak. Pemilihan sengon dalam produksi/penanaman masal terganjal pada tingkat kesulitan dalam perawatannya.

Keunggulan jabon secara fisik sehingga dipilih dalam program penanaman jabon antara lain tinggi pohon yang dapat mencapai 45 meter dengan panjang bebas cabang 30 meter dan bertekstur halus. Diameter pohon sampai 160 cm, batang lurus berbentuk silindris, tajuk tinggi dengan cabang mendatar. Cabang-cabang jabon dapat mati dengan sendirinya sehingga memudahkan perawatan (tidak memerlukan penyiangan) serta tidak memerlukan proses penjarangan karena sifat batang yang lurus. Jabon termasuk jenis pionir yang dapat membentuk kelompok hutan yang bebas persaingan cahaya, pertumbuhan diameter dapat mencapai 10 cm per tahun dalam kondisi lingkungan yang optimal. Jabon dalam industri diolah menjadi korek api, pensil, sumpit, peti kemas, bahan baku kerajinan dan mainan, bahan baku pulp, kayu lapis.

2.2. Data Kayu Jabon

Kayu Jabon di pasaran Indonesia dapat dibedakan 2 macam yakni Jabon Merah dan Jabon Putih yang konon bedanya terletak pada pupus daun muda yang berwarna hijau (Jabon Putih, Anthocepallus cadamba) dan pupus daun muda yang berwarna kemerahan (Jabon Merah, Anthocepallus macrophyllus) 
kayu jabon (Anthocephalus macrophyllus) lebih bagus daripada kayu lainnya, tekstur lebih halus, bentuknya silinder lurus, berwarna putih kekuningan dan tidak berserat, batang mudah dikupas, lebih mudah dikeringkan atapun direkatkan dan tidak cacat, Arah serat terpadu, permukaan kayu mengkilap, kayu jabon juga sudah terbukti keawetannya atau daya tahannya.(di ambil dari WWW.gapoktan.Com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar